Sunday, November 4, 2012

Hikayat Musang Berjanggut



Hikayat Musang Berjanggut
Tertulislah pada zaman dahulu kala sebuah kerajaan Melayu bernama Negeri Parun. Kerajaan ini dipimpin oleh Raja Negeri Parun yang bijak dan dicintai rakyatnya. Namun, satu-satunya yang merisaukan hati beliau adalah ketiadaan pewaris, pengganti dirinya jika kelak turun tahta. Usia sudah menanjak tinggi, belum ada tanda-tanda Permaisuri akan memberi mereka seorang buah hati.
Maka berembuklah Raja dengan Permaisuri, dan bulat-sepakat bahwa mereka akan mencari anak angkat yang pantas dari kalangan rakyat Negeri Parun. Raja pun menjelajahi negeri untuk mencari bakal putra mahkota penggantinya kelak. Lama mencari, akhirnya Raja menemukan sosok anak angkat itu dalam sebuah keluarga miskin di ujung negeri. Suka hatinya melihat kanak-kanak dari keluarga melarat itu. Meski melarat, sopan mereka pada siapa saja. Baik bimbingan keluarganya, taat beragama, sehat badannya dan tidak gentar menantang mata Raja. Dengan izin dari kelurganya, maka diambillah dia, putra jelata itu, sebagai Putra Mahkota. Menjadi kesayangan Raja dan Permaisuri. Anak itu bernama Tun Utama.
Meski tumbuh dalam keluarga kerajaan, dia tak diizinkan lupa pada muasal dirinya. Sesekali dikunjunginya orang tuanya di sudut negeri. Tahun-tahun berganti dan Tun Utama pun tumbuh dewasa.Namun Raja risau.Usianya sudah menua, dan Tun Utama sudah tumbuh dewasa. Tetapi tak terlihat tanda-tanda bahwa Sang Putra Mahkota akan berumah-tangga. Pergaulannya dengan lawan jenis hanya sekilas mata, tak terlihat bahwa ada yang menarik di hatinya.
Dipanggillah Tun Utama ke balairung istana untuk disidang di satu hari. Dengan duduk bersimpuh dia menghadap Raja, di kiri-kanannya dilingkari para punggawa. Dan Raja pun, setelah berpantun kian-kemari mencucurkan hikayat dan nasihat, mengutarakan keprihatinannya soal jodoh Tun Utama.
Tun Utama pun sadar bahwa persidangan itu tak lain campur tangan para punggawa juga. Maka, setelah Raja memuji-muji gadis-gadis di lingkar istana, dia pun memberi jawaban yang membuat balairung terdiam. Jawaban semacam ini,
“Ampun beribu ampun, Tuanku. Bukan tak ada hasrat hati hamba untuk mempersunting seorang perempuan sebagai istri. Namun apa yang hamba cari tak ada di sini. Hamba mencari perempuan, ada pun semua gadis-gadis yang Tuanku sebut, di mata hamba bukanlah perempuan, melainkan betina saja adanya.”
Dengan menahan geramnya, Raja pun bertanya seperti apa kriteria “perempuan” dan apa pula maksudnya dengan kata “betina” terhadap gadis-gadis istana.Tun Utama menjelaskan singkat. Raja pun murka. Bangkit beliau dari tahtanya dan memberi ultimatum: Akan diberi kesempatan dalam 1 tahun kepada Tun Utama untuk mencari jenis perempuan yang disebutnya. Jika dalam tempo satu tahun Tun Utama tidak menemukan perempuan tersebut dan tidak membawanya pulang ke Negeri Parun, maka dia akan dipecat sebagai Putra Mahkota dan akan dihukum pancung.
Pulanglah Tun Utama ke rumah keluarganya untuk mempersiapkan perjalanannya mencariperempuan dan bukan betina, seperti yang sudah dijanjikannya. Ibu kandungnya, memberikannya sekantung beras khusus untuk dibawa serta dalam perjalanannya, dan mengajarkan bagaimana cara membuat beras siap masak yang serupa.Beras dalam kantung pemberian ibunya, beserta teknik pembuatannya itu, akan menjadi salah satu penguji perempuan sejati menurut Tun Utama.
Dalam perjalanannya, Tun Utama menjelajahi negeri tanpa membuka identitas dirinya. Ada beberapa kali dia bertemu rumah berisi anak gadis, yang dipintanya dengan sopan pada ahli keluarga untuk menginap. Hingga lepas dari Negeri Parun, tak ada yang berkenan di hatinya, dan tak ada pula yng bisa memasak beras tersebut. .
Hingga sampailah Tun Utama di pelabuhan ujung negeri lain. Hasrat hatinya hendak menyeberang laut, untuk mencari perempuan yang diimpikan. Namun tak ada kapal yang berani berlayar, sebab ombak sedang besar di lautan. Bekal keuangannya pun sudah menipis. Ada satu kapal disebut-sebut, namun tak sembarang orang bisa menumpang di kapal itu. Namanya Kapal Terus Mata
Di sana, di sebuah warung, bertemulah dia dengan Nahkoda Terus Mata. Nahkoda Terus Mata ini bawaannya kasar. Kalau bicara suaranya menggelegar. Anak buahnya ramai, dan wibawanya seperti kepala perompak yang disegani.
Nahkoda Terus Mata terpikat hatinya pada tutur dan keberanian Tun Utama tegak di depannya. Meski dia berkata, “Monyet kecil ini banyak bicara!” namun tak juga dikepalkan tinjunya. Diamat-amatinya sosok Tun Utama, yang dinilainya sebagai wajah terpelajar yang tak pantas berada di situ. Dia pun bertanya darimana dan hendak kemana rupanya Tun Utama. Tun Utama pun mengutarakan keinginannya untuk berlayar ke negeri seberang. Berlayarlah Tun Utama dengan kapal Terus Mata.
Pelayaran pun singgah di satu pelabuhan yang jauh. Negeri Pasir. Pelabuhan itu kering dan sepi. Tak banyak kapal yang singgah. Tun Utama mencoba peruntungan terakhirnya dengan melompat turun dari kapal.
Dari pelabuhan, Tun Utama berjalan kaki memasuki pedalaman. Seharian berjalan, berkelok-kelok, dia pun berpapasan dengan seorang petani menjelang hari senja.
Petani ini menawarkan rumahnya untuk tempat Tun Utama singgah.Tun Utama pun menyambut baik tawaran Si Petani untuk menginap di rumah beliau. Perjalanan ke rumah petani menjelang senja itu menghadirkan keheranan lain pada Si Petani.
Pada malam hari selepas maghrib, seperti biasa Tun Utama pun menyodorkan “beras rusak” yang dibawanya itu dengan alasan nazar dalam perjalanan, kepada Si Petani. Seperti biasa adat Melayu zaman, dimana anak gadis tak bisa menampakkan diri pada tamu non-muhrim, maka yang ada cuma dia dan suami-istri pemilik rumah. Istri petani dengan terheran-heran membawa beras ke dapur, dimana seorang gadis bersiap menyajikan masakan. Sajiannya tertunda dengan “beras rusak” yang dibawa ibunya. Dengan heran dan penasaran dia bertanya-tanya siapa tamu yang dibawa ayahnya itu. Sebab, Si Petani rupanya bukan orang yang suka membawa orang asing ke rumah, jika tidak berkenan di hatinya. Mendengar gelak-tawa Tun Utama dan ayahnya dari ruang depan, kentaralah bahwa ada yang mengena di antara mereka.
Sementara ibunya menyuruh mengganti beras tersebut, Si Gadis menolak dan tersenyum-senyum melihatnya. Dia pun mengambil alat-alat masak, memisahkan bumbu yang bercampur-aduk dan mengolah kembali isi “beras rusak” tersebut agar bisa disajikan sebagai makan malam.
Ketika hidangan tersaji di depan Tun Utama dan Si Petani, terlihat tidak ada yang istimewa. Si Petani yang mengira isi beras berbeda dengan yang biasa mereka makan, menjadi heran meskipun diam saja melihat sajian “beras kaul” itu tak berbeda dengan apa yang tersaji untuknya.
Tun Utama sendiri, setelah suapan pertama, tercenung dengan penasaran. Masakan yang dimakannya membawanya serasa kembali ke Negeri Parun. Tak jauh beda dengan masakan ibunya. Kentara bahwa “beras rusak” tersebut sudah dimasak dengan semestinya.
Dengan gaya biasa, seakan sepintas lalu, Tun Utama pun memuji masakan istri Si Petani. Namun Si Petani dan istrinya menjawab bahwa masakan itu adalah masakan anak gadis mereka yang di dapur. Tun Utama kini menjadi penasaran.
Ketika pagi berlalu, selepas shalat subuh, Tun Utama memutar pikiran mencari alasan agar bisa tinggal sedikit lama di rumah tersebut, untuk menuntaskan rasa penasarannya. Saat pagi tiba, dia bermangu di pinggir sungai dan memandangi takjub kincir air yang belum pernah dijumpainya dalam perjalanannya. Penasaran hendak melintas air sungai, dilompatinya bebatuan, hingga sebuah suara terdengar mengejutkannya. Suara yang berseru, “Hati-hati, Tuan… nanti…”
Terlambat. Tun Utama tercebur menginjak batu licin. Terkilir kakinya dan susah payah berenang ke pinggir sungai, dan ditarik ke darat oleh pemilik suara yang mengagetkannya itu. Seorang anak gadis rupawan yang baru pulang mencuci kain. Si Gadis meminta maaf karena mengagetkannya, namun Tun Utama tak mempermasalahkan soal itu. Apa yang membuat hatinya kaget adalah pengakuan bahwa gadis itu adalah anak dari Si Petani dimana dia menumpang.Namanya, Siti Syarifah.
Dengan dipapah oleh Syarifah, pulanglah mereka ke rumah. Berpapasan dengan Si Petani yang di hari itu cepat pulag dari sawahnya. Kaget Si Petani melihat anaknya memapah pemuda asing yang menjadi tamunya, namun selepas dilihatnya kaki Tun Utama terkilir, dimintalah maaf olehnya dengan rasa tak enak hati karena tamu tercedera di rumahnya sendiri. Dipintanya Tun Utama bertahan sedikit lama sampai sembuh, sebelum melanjutkan perjalanannya kembali.
Tun Utama diam-diam girang bukan kepalang. Hari demi hari berlalu dalam masa penyembuhan kakinya. Dia pun sesekali berkomunikasi dengan Syarifah. Terkadang dari jendela dipandanginya anak gadis rupawan yang cerdas itu. Hingga saat kakinya sembuh, dia pun mengutarakan keinginan untuk berangkat pada Si Petani.
Ketika makan malam usai, Tun Utama beringsut menghadap Si Petani. Mengutarakan sekali lagi bahwa dia akan pergi dari negeri tersebut, namun dengan membawa serta Syarifah sebagai istri. Jika segenggam mas kawin untuk Syarifah tidak berarti apa-apa, dia akan tetap pamit juga, dengan membawa dirinya sendiri.
Sementara Si Gadis yang sudah jatuh cinta menangis di kamarnya, di rangkulan ibunya, mata Si Petani berkaca-kaca. Mendapatkan menantu memang sudah lama diidamkannya, namun anak gadisnya terlalu keras kepala. Dan kini Si Gadis sudah dipinta oleh orang muda yang mereka suka. Tak menjadi masalah baginya, namun tentu putusan ada pada Syarifah jua.
Ketika Si Petani pamit untuk bertanya, istrinya mencegat di depan pintu kamar Si Gadis. Menggeleng pertanda tak perlu bertanya apa-apa lagi. “Tunggu apa lagi? Terima saja! Anak kita sudah setuju!”
Pernikahan pun dilangsungkan. Sementara kerahasiaan identitas Tun Utama pun kemudian dibuka hanya pada istri dan mertuanya saja. Ternyata curiga-mencurigai sudah lama ada di antara mereka.
Sementara Tun Utama mengakui bahwa jatuh ke sungai lalu terkilir adalah sakit. Tapi jatuh hati di hari itu adalah pengobatnya. Jadi, penyesalan Syarifah di hari itu tak jadi masalah. Karena siapa yang jatuh siapa yang menjatuhkan? Hati mereka juga jadinya.
Setelah beberapa lama Tun Utama memperpanjang masa tinggalnya dengan keluarga barunya, bersiap-siaplah dia kembali ke Negeri Parun. Dengan izin dari ibu dan bapak Siti Syarifah, keluarlah mereka sekeluarga dari negeri itu menuju pelabuhan.
Pernikahannya dengan Siti Syarifah yang cantik rupawan, ternyata sudah mengundang dengki seorang pemuda negeri tersebut. Anak orang kaya bangsawan yang sudah berkali ditolak oleh Syarifah lamarannya. Si Jambat, namanya.
Dalam perjalanan itu, makin kagumlah Nahkoda pada pilihan Tun Utama. Syarifah tak segan bersama suaminya belajar mengemudi kapal. Perjalanan pun akhirnya tiba di pelabuhan ujung Negeri Parun. Dari sana, Tun Utama memutuskan untuk berkuda berdua saja dengan Siti Syarifah, karena menunggu kapal langsung ke Negeri Parun akan memakan waktu lama. Mereka pun berpisah dengan janji akan bertemu kembali.
Tujuan Si Jambat pun tercapai sudah. Di satu jalan sepi pada malam esoknya, dapat juga dikejarnya Tun Utama dan Siti Syarifah. Dengan tukang pukulnya mengeroyok Tun Utama, dikejarnya Siti Syarifah -yang disuruh lari dengan kuda oleh Tun Utama. Siti Syarifah tertangkap, dan dengan segera dibawanya ke satu warung di pelabuhan ketika hari sudah beranjak larut malam.
Lalu satu suara menggelegar bertanya,“Boleh kulihat barang barumu itu, Jambat?”.Tercekat hati Si Jambat. Suara menggelegar itu tak lain adalah suara Nahkoda Terus Mata. Dengan segan, Si Jambat pun mempersilakan Nahkoda Terus Mata mendekati Siti Syarifah.
 “Jadi ini urusan seronok yang kau katakan itu, Jambat?”
Si Jambat baru hendak menjawab, namun tinju Nahkoda Terus Mata sudah mematahkan batang hidungnya. Dengan marah Si Jambat mencabut goloknya, diikuti oleh teman-temannya, dan berteriak mengatakan betapa Nahkoda Terus Mata rupa-rupanya belum kenal siapa dia.
Nahkoda Terus Mata tertawa sinis. Dengan satu gerakan tangan memberi isyarat, terdengarlah bunyi senjata tajam dicabut dari seisi ruangan. Jumlah pengikut Nahkoda Terus Mata rupanya jauh lebih banyak dari gerombolan Si Jambat. Nahkoda Terus Mata pun memberi ultimatum: Jika Si Jambat tak memberi tahu dimana Tun Utama, isi benaknya akan dihamburkan di situ juga.
Sadar kalah dukungan, Si Jambat pun melarikan diri. Nahkoda Terus Mata melepas Syarifah dan bertanya kabar Tun Utama, lalu menitipkan Syarifah pada beberapa anak buahnya dan memutuskan untuk membagi dua rombongan. Satu mencari Si Jambat dan satunya mencari Tun Utama.
Pencarian Tun Utama pun sukses dilakukan. Di jalan lengang menuju ke arah lokasi penghadangan Tun Utama, bertemulah mereka. Tun Utama rupa-rupanya sudah menewaskan para pengeroyoknya, meski badannya sendiri luka-luka, dan mengambil kuda salah satu dari mereka untuk mengejar Si Jambat. Heran Nahkoda Terus Mata, dengan apa Tun Utama melawan, sementara dia tak bersenjata. Ternyata payung yang selalu dibawa Tun Utama, jika ditarik di gagangnya, akan mengeluarkan sebilah pedang tipis yang tajam.
Setelah Tun Utama bertemu dengan istri, Nahkoda pun memutuskan bahwa mereka mesti segera berangkat, langsung ke Negeri Parun. Penolakan Tun Utama dengan kekhawatiran urusan barang niaga di kapalnya akan terlantar, ditampiknya mentah-mentah. Dia bersikeras untuk mengantar mereka sendiri sampai selamat ke Negeri Parun.
Singkatnya, kepulangan mereka pun disambut gembira. Raja dan Permaisuri yang sudah lama menanti, sudah gelisah karena tahun akan berganti, berseri-seri menyambut Tun Utama dan Siti Syarifah.
Ketika hari-hari berlalu, makin terlihat sosok Syarifah yang menarik hati. Anak-anak suka bermain di dekatnya, mendengarnya bercerita. Rakyat pun suka dengan calon permaisuri di masa depan yang ramah pada mereka. Istri Tun Utama menjadi buah bibir, dari desa hingga ke istana. Semua orang jatuh cinta padanya.
Di sinilah skandal istana bermula.Raja yang dilamun asmara, kemudian merasa badannya tak sehat. Sudah beberapa tabib diundang untuk mengobatkan, tapi tak juga beliau merasa badannya sehat kembali. Hingga satu hari Tuan Kadi, jabatan salah satu punggawa yang berurusan dengan soal perkawinan, mengabarkan kepada Raja sebuah mimpinya: Obat kesembuhan Raja adalah seekor musang berjanggut.
Namun mimpi tersebut rupa-rupanya mendatangkan akal bagi mereka. Semua seperti berpikiran serupa: Inilah saat memisahkan Tun Utama dan Siti Syarifah, sehingga bisalah salah satu dari mereka merayu-cumbu Siti Syarifah barang semalam saja, hendak pula bisa selama-lamanya. Tentu saja pikiran demikian cuma tersimpan dalam hati masing-masing punggawa istana dan juga Raja.
Maka dipanggil lah Tun Utama menghadap. Dengan menyinggung tekadnya yang keras karena telah berhasil membawa pulang perempuan yang bukan betina, diharapkanlah kesediaannya untuk mencari pula musang berjanggut, demi kesembuhan Raja. Tun Utama, meski terheran-heran, menyanggupi perintah Raja, bahkan ketika hukuman pancung jika gagal diancamkan kepadanya. Raja, dengan desakan dari para punggawa, menitahkan agar Tun Utama berangkat hari itu juga.
Pulanglah Tun Utama ke rumah. Diceritakannyalah kepada Siti Syarifah permintaan Raja itu. Siti Syarifah terheran-heran dengan obat yang aneh itu. Dicegahnya Tun Utama berangkat, karena selain aneh, ada naluri lain terasa olehnya. Namun Tun Utama bersikeras juga hendak melaksanakan amanah.“Jika ada ular beranak, mana tahu ada pula musang berjanggut.”
Siti Syarifah mengalah. Namun meminta Tun Utama menunda barang semalam, karena ada sesuatu yang hendak ditunjukkannya jika sangkanya benar. Dimintanya agar Tun Utama mengabarkan ke istana bahwa dia akan berangkat sore itu.
Mata-mata istana bergerak-gerak di sekitar rumah. Begitu terlihat Tun Utama keluar meninggalkan rumah, sampailah kabar ke istana bahwa memang sudah berangkat Tun Utama mencari musang berjanggut akan pengobat Raja.
Tak lama berselang, langsung tiba utusan Raja memberitahu pada Siti Syarifah, bahwa jika tak ada halangan Raja hendak bertamu ke rumah selepas isya. Siti Syarifah mengangguk dan berkata bahwa dia akan menunggu sekitar pukul sepuluh malam. Selepas utusan Raja, datang pula utusan Kadi Istana, mengabarkan bahwa Kadi hendak datang bertamu karena ada urusan penting. Siti Syarifah menyanggupi, dan memberi waktu selepas maghrib. Lalu datang lagi utusan Datuk Tumenggung, mengabarkan bahwa Datuk Tumenggung hendak bertamu. Siti Syarifah menyanggupi dan memberitahu bahwa hendaklah Datuk Tumenggung datang selepas isya. Lalu berturut-turut datang utusan Datuk Bendahara dan utusan Datuk Laksamana dengan hajat bertamu yang sama. Siti Syarifah pun berjanji menunggu dengan waktu yang diaturnya setengah sampai satu jam dari utusan terakhir.
Ketika hari senja, selepas shalat maghrib, dengan mengendap-endap Tun Utama masuk dari pintu belakang rumah mereka. Dengan jenaka Siti Syarifah menyuruhnya bersembunyi di loteng rumah. Dengan terheran-heran Tun Utama menuruti permintaan istrinya.
Ternyata Tuan Kadi Istana tak sabar menanti. Belum lagi maghrib berlalu, sudah terdengar ketukan di depan pintu. Siti Syarifah mempersilakan Tuan Kadi masuk, bahkan menyuruhnya menyembunyikan kasut di dalam rumah. Merasa sambutan begitu ramah dan hangat, Kadi Istana berbunga-bunga. Dengan sabar dia menanti Siti Syarifah yang meminta izin hendak ke dapur, akan membuat sajian untuknya. Pada kenyatannya, Siti Syarifah berpura-pura sibuk di dapur. Dipercik-perciknya air ke minyak mendidih sehingga terdengar seperti orang sedang memasak.
Perasaan berbunga-bunga Kadi Istana terusik dengan suara salam yang sudah dikenalnya di pintu rumah. Datuk Tumenggung datang bertamu. Dengan panik Kadi mencoba hendak lari bersembunyi, namun Siti Syarifah cekatan menarik tangannya dan membujuknya untuk bersembunyi di dalam peti besar berukuran lebar, yang terletak di ruangan itu. Tak pikir panjang, Kadi melompat masuk ke dalam peti, tanpa mengetahui bahwa Siti Syarifah tersenyum-senyum mengunci peti tersebut dan beranjak membuka pintu untuk Datuk Tumenggung.
Apa yang mengherankan Tuan Kadi adalah makanan lengkap di dalam peti yang berongga-rongga sehingga seisi ruang terlihat jelas jika diintipnya.
Sementara itu, Datuk Tumenggung yang sudah berbirahi dielakkan Siti Syarifah dengan trik yang sama seperti terhadap Tuan Kadi, membiarkannya berbunga-bunga menanti Siti Syarifah menyajikan masakan untuknya. Dan selepas itu, Datuk Tumenggung pun tersenyum mesum sendiri dengan khayalannya, sampai suara ketukan di pintu terdengar dengan salam yang sudah dikenalnya. Datuk Laksamana!
Gusar dan panik, Datuk Tumenggung pun berniat lari. Namun dengan sigap Siti Syarifah yang berpura-pura heran menunjukkan lemari di ruangan itu. Tak banyak pikir, masuklah Datuk Tumenggung ke dalamnya.
Demikianlah. Satu persatu dikerjai oleh Siti Syarifah. Yang paling naas adalah Datuk Laksamana. Dengan mesumnya dia bertelanjang dada selagi Syarifah di dapur. Eh, sedang asyik dia berfilosofi, “ibarat gulai di tangan, tak akan lari kemana jika bukan ke mulut juga” terhadap Siti Syarifah yang ranum di dapur sana, suara Datuk Bendahara terdengar. Gemetar ketakutan dia mencari tempat bersembunyi. Siti Syarifah, dengan menahan tawa, mengatakan tak ada tempat bersembunyi di rumah itu. Tak ada pintu lain. Namun jika Datuk Laksamana mau, bisa berpura-pura menjadi patung di sudut ruangan, di sebelah lemari. Cukuplah dengan memegang setalam buah-buahan dan berdiam diri, tak akan terlihat nyata di ruangan dengan pelita yang sudah meredup cahayanya.
Datuk Laksamana pun bertindak sesuai anjuran. Di sudut sebelah lemari, dimana Datuk Tumenggung bersembunyi, dia berpura-pura menjadi arca. Diam tak berkutik ketika Datuk Bendahara masuk ke dalam rumah.
Lalu Datuk Bendahara pun kena. Sedang mesra berkhayal, sempat terheran-heran melihat patung mirip-mirip Datuk Laksamana di sudut dekat lemari, suara Raja terdengar bertandang. Imajinasi mesumnya buyar seketika. Siti Syarifah pun menunjukkan kolong meja di dekat mereka, sebuah meja bertutup kain. Sigap Datuk Bendahara masuk ke kolong meja, mengintip Raja yang masuk dengan dituntun mesra oleh Siti Syarifah.
Tak seperti yang lainnya, Raja menolak disajikan makanan. Dengan duduk berdekatan, dicobanya merayu-rayu menantunya itu perlahan-lahan. Bercerita tentang sakitnya dan betapa dia merindu ingin bertemu Siti Syarifah.
Siti Syarifah mendengar takzim layaknya anak menantu terhadap mertua. Namun, rupa-rupanya Sang Raja sudah mulai nakal menyentuh-nyentuh lengannya. Siti Syarifah tiba-tiba berdiri dan berkata bahwa dia hendak bermanja dengan Raja. Jika sudi, Raja dimintanya menjadi kuda. Raja tertawa gembira, merasa menantunya sedang memberi pertanda, dengan segera dia pun berlutut dan bergaya seperti kuda. Siti Syarifah tertawa dan meminta Raja tidak berposisi kuda seperti biasa, dengan kaki dan tangan masih di lantai, tapi hendaklah mengangkat ujung tangan dan ujung kaki sehingga cuma tersisa lutut dan siku saja sebagai kuda-kuda. Raja mengalah dengan perkiraan bahwa ini hanyalah trik Siti Syarifah untuk bermanja. Meski siku tangannya dan lututnya terasa sakit, namun ketika Syarifah sudah duduk di punggungnya, seakan-akan sedang naik kuda dengan duduk menyamping, senanglah hati Raja.
Para punggawa terhenyak di persembunyian masing-masing. Raja Negeri Parun yang disegani lawan dan dihormati kawan, menjadi kuda yang dinaiki seorang perempuan, tanpa sadar sedang ditonton oleh petinggi-petinggi istana. Oleh Datuk Bendahara yang kepanasan di kolong meja. Oleh Datuk Laksamana yang sudah pegal-pegal tangannya berpose sebagai sebuah arca. Oleh Datuk Tumenggung yang kelaparan di balik lemari. Dan oleh Tuan Kadi yang merasa paling beruntung di peti dengan makanan dan minuman tersaji.
Setelah satu kali keliling ruangan itu, Raja menyerah. Siku-siku kaki dan tangannya sakit semua. Baru saja mereka berhenti dan Syarifah hendak mengambilkan air, sebuah tangan mengacaukan segalanya. Tangan itu adalah tangan Datuk Tumenggung yang kelaparan. Dengan diam-diam Datuk Tumenggung membuka lemari. Melihat ada buah-buahan di talam yang dipegang oleh “arca tembaga mirip-mirip Datuk Laksamana”, tangannya pun menjulur. Bukan buah-buahan terpegang olehnya, namun batang hidung Datuk Laksamana. Datuk Laksamana pun berteriak kaget, dicampaknya talam buah-buahannya, terkena pelita dan padam. Datuk Tumenggung yang terkejut terbentur pintu lemari keningnya. Sementara Datuk Bendahara, melihat peluang melarikan diri, mencoba keluar lekas-lekas dari kolong meja, dan terbungkuk-bungkuk punggungnya membentur sisi meja. Panik seisi ruangan, mencoba kalang kabut melarikan diri, seketika menyadari bahwa bukan satu dari mereka ada di sana. Dalam gelap malam berdesak dan berpencar mereka, juga Raja, kabur dari pintu depan. Kasut tercampak berhambur dan hilang mereka dalam kegelapan malam.
Siti Syarifah pun menyalakan kembali pelita dan memanggil suaminya turun dari loteng. Tun Utama, dengan tawa terpingkal-pingkal mendapat tontonan gratis, turun dan memeluk istrinya. Lalu bersama mendekati peti dimana Tuan Kadi bersembunyi.
Berteriak-teriak Tuan Kadi meminta Tuan Putri Syarifah membukakan peti tersebut.“Tak ada yang perlu dikhawatirkan Tuan Kadi. Bukankah cukup makanan dan minuman di situ?”
Sadarlah Tuan Kadi, bahwa dirinya sudah terjebak. Tadi dikiranya dia yang paling beruntung, namun kini jelas bahwa dia yang paling sial dari antara semua.
Esoknya, sampailah kabar di istana bahwa Tun Utama sudah kembali membawa musang berjanggut. Seisi negeri kaget dan berbondong-bondong ke istana menanti musang berjanggut yang sudah ditangkap oleh Tun Utama. Di balairung istana, Raja dan segenap pembesar kerajaan -minus Tuan Kadi- sudah berkumpul. Mereka menatap tak percaya ketika sebuah peti besar dibawa dua prajurit istana, dengan Tun Utama datang menghadap mengabarkan bahwa sudah berhasil ditangkapnya musang berjanggut untuk kesembuhan Raja. Dengan beringsut mundur Tun Utama mempersilakan diperiksa isi peti tersebut, adakah benar musang berjanggut atau bukan.
Dari singgasananya, entah karena takut atau merasa bersalah, Raja menyuruh punggawanya satu demi satu memeriksa isi peti, sebelum dia nanti melihatnya sendiri.Majulah Datuk Bendahara. Ketika dibukanya peti tersebut, terkejutlah ia melihat Tuan Kadi meringkuk di dalamnya.
“Apa yang Tuan Kadi lakukan di dalam peti ini?”
“Melihat Datuk Bendahara mengganggu istri orang. Bagaimana kabar punggung Datuk? Masih sakit membentur meja?”Datuk Bendahara terdiam. Dia pun beringsut mundur, menutup peti dan berkata kepada Raja.
“Memang benar ini musang berjanggut, Tuanku.”Lalu maju pula Datuk Tumenggung. Reaksinya sama kaget dengan Datuk Bendahara.
“Celakalah kita! Kenapa bisa begini, Tuan Kadi?”Kadi Istana menjawab kecut sambil menunjuk kening   Datuk Tumenggung.“Tanyakanlah pada kening Datuk yang bengkak itu.”Datuk Tumenggung mundur dan menunduk malu. Lalu mengangguk kepada Raja.
“Benar Tuanku. Ini memang musang berjanggut adanya.”
Berikutnya majulah pula Datuk Laksamana. Tak kalah pula kagetnya Datuk Laksamana melihat isi di dalam peti. Mendesis-desis ia berbisik,“Astaga! Malang nian nasibmu, Tuan Kadi!”Tuan Kadi tersenyum,
“Setidaknya lebih beruntung daripada menjadi patung tembaga, Datuk Laksamana.”
Datuk Laksamana terpukul mundur. Ditutupnya peti dan tegak menghadap Raja.“Bagaimana, Laksamana?”
Datuk Laksamana menjawab,“Tak diragukan lagi, Tuanku. Ini memang musang berjanggut adanya. Jenis yang suka mengganggu ayam orang.”
Merasa penasaran, Raja pun turun dari singgasana mendekati peti. Dibukanya peti dan terhenyaklah ia melihat wajah Tuan Kadi menunduk malu di dalam peti. Mendesis Raja tak percaya:
“Tak kusangka semalang ini nasibmu, Kadi!”Kadi istana menunduk dan menjawab,
“Beruntunglah hamba tidak dijadikan kuda tua untuk ditunggangi, Tuanku.”
Raja terdiam lama di sisi peti tempat bersemayamnya Tuan Kadi. Sadarlah dia kini, bahwa ini semua adalah pembalasan dari Tun Utama dan terutama Siti Syarifah yang cerdik-jenaka. Sebuah pelajaran yang menyadarkan orang-orang tua seperti dirinya dan para punggawa istana.Raja menutup peti tersebut, dan menepuknya tiga kali. Lalu mengumumkan bahwa benar adanya isi peti tersebut adalah musang berjanggut.
Di akhir cerita, Raja dan semua punggawa mengundurkan diri, setelah meminta maaf kepada Tun Utama dan Siti Syarifah serta berterimakasih atas cara mereka mengajar tanpa mempermalukan orang-orang tua yang khilaf tersesat nafsu. Nahkoda Terus Mata yang sempat dimintai bantuan mencari obat oleh Tun Utama pun datang, dan mengabarkan nasehat dari tabib jauh bahwa obat kesembuhan Raja cuma ada dalam dirinya sendiri.
Tun Utama diangkat menjadi Raja bersama Siti Syarifah sebagai permaisuri istana. Selain dari mereka, tak pernah ada yang tahu rupa musang berjanggut sesungguhnya, bahwa musang berjanggut itu tak lain Kadi Istana yang memang berjanggut segenggam tangan, sebagai amsal sebuah perilaku tercela dalam agama dan adat-istiadat. Peti “musang berjanggut” itu pun dinyatakan sebagai harta istana. Disimpan sebagai pelajaran. Menjadi hikayat makrifat turun-temurun.
* * *

No comments:

Post a Comment