Hikayat Musang Berjanggut
Tertulislah
pada zaman dahulu kala sebuah kerajaan Melayu bernama Negeri Parun. Kerajaan
ini dipimpin oleh Raja Negeri Parun yang bijak dan dicintai rakyatnya. Namun,
satu-satunya yang merisaukan hati beliau adalah ketiadaan pewaris, pengganti
dirinya jika kelak turun tahta. Usia sudah menanjak tinggi, belum ada
tanda-tanda Permaisuri akan memberi mereka seorang buah hati.
Maka
berembuklah Raja dengan Permaisuri, dan bulat-sepakat bahwa mereka akan mencari
anak angkat yang pantas dari kalangan rakyat Negeri Parun. Raja pun menjelajahi
negeri untuk mencari bakal putra mahkota penggantinya kelak. Lama mencari,
akhirnya Raja menemukan sosok anak angkat itu dalam sebuah keluarga miskin di
ujung negeri. Suka hatinya melihat kanak-kanak dari keluarga melarat itu. Meski
melarat, sopan mereka pada siapa saja. Baik bimbingan keluarganya, taat
beragama, sehat badannya dan tidak gentar menantang mata Raja. Dengan izin dari
kelurganya, maka diambillah dia, putra jelata itu, sebagai Putra Mahkota.
Menjadi kesayangan Raja dan Permaisuri. Anak itu bernama Tun Utama.
Meski
tumbuh dalam keluarga kerajaan, dia tak diizinkan lupa pada muasal dirinya.
Sesekali dikunjunginya orang tuanya di sudut negeri. Tahun-tahun berganti dan
Tun Utama pun tumbuh dewasa.Namun Raja risau.Usianya sudah menua, dan Tun Utama
sudah tumbuh dewasa. Tetapi tak terlihat tanda-tanda bahwa Sang Putra Mahkota
akan berumah-tangga. Pergaulannya dengan lawan jenis hanya sekilas mata, tak
terlihat bahwa ada yang menarik di hatinya.
Dipanggillah
Tun Utama ke balairung istana untuk disidang di satu hari. Dengan duduk
bersimpuh dia menghadap Raja, di kiri-kanannya dilingkari para punggawa. Dan
Raja pun, setelah berpantun kian-kemari mencucurkan hikayat dan nasihat,
mengutarakan keprihatinannya soal jodoh Tun Utama.
Tun
Utama pun sadar bahwa persidangan itu tak lain campur tangan para punggawa
juga. Maka, setelah Raja memuji-muji gadis-gadis di lingkar istana, dia pun
memberi jawaban yang membuat balairung terdiam. Jawaban semacam ini,
“Ampun beribu ampun, Tuanku. Bukan tak ada hasrat hati hamba
untuk mempersunting seorang perempuan sebagai istri. Namun apa yang hamba cari
tak ada di sini. Hamba mencari perempuan, ada pun semua gadis-gadis
yang Tuanku sebut, di mata hamba bukanlah perempuan, melainkan betina saja
adanya.”
Dengan
menahan geramnya, Raja pun bertanya seperti apa kriteria “perempuan” dan apa
pula maksudnya dengan kata “betina” terhadap gadis-gadis istana.Tun Utama
menjelaskan singkat. Raja pun murka. Bangkit beliau dari tahtanya dan memberi
ultimatum: Akan diberi kesempatan dalam 1 tahun kepada Tun Utama untuk mencari
jenis perempuan yang disebutnya. Jika dalam tempo satu tahun
Tun Utama tidak menemukan perempuan tersebut dan tidak membawanya pulang ke
Negeri Parun, maka dia akan dipecat sebagai Putra Mahkota dan akan dihukum
pancung.
Pulanglah Tun Utama ke rumah keluarganya untuk mempersiapkan
perjalanannya mencariperempuan dan bukan betina,
seperti yang sudah dijanjikannya. Ibu kandungnya, memberikannya sekantung beras
khusus untuk dibawa serta dalam perjalanannya, dan mengajarkan bagaimana cara
membuat beras siap masak yang serupa.Beras dalam kantung pemberian ibunya,
beserta teknik pembuatannya itu, akan menjadi salah satu penguji perempuan
sejati menurut Tun Utama.
Dalam
perjalanannya, Tun Utama menjelajahi negeri tanpa membuka identitas dirinya.
Ada beberapa kali dia bertemu rumah berisi anak gadis, yang dipintanya dengan
sopan pada ahli keluarga untuk menginap. Hingga lepas dari Negeri Parun, tak
ada yang berkenan di hatinya, dan tak ada pula yng bisa memasak beras tersebut.
.
Hingga
sampailah Tun Utama di pelabuhan ujung negeri lain. Hasrat hatinya hendak
menyeberang laut, untuk mencari perempuan yang diimpikan. Namun tak ada kapal
yang berani berlayar, sebab ombak sedang besar di lautan. Bekal keuangannya pun
sudah menipis. Ada satu kapal disebut-sebut, namun tak sembarang orang bisa
menumpang di kapal itu. Namanya Kapal Terus Mata
Di sana, di sebuah warung, bertemulah dia dengan Nahkoda
Terus Mata. Nahkoda Terus Mata ini bawaannya kasar. Kalau bicara suaranya
menggelegar. Anak buahnya ramai, dan wibawanya seperti kepala perompak yang
disegani.
Nahkoda
Terus Mata terpikat hatinya pada tutur dan keberanian Tun Utama tegak di
depannya. Meski dia berkata, “Monyet kecil ini banyak bicara!” namun tak juga
dikepalkan tinjunya. Diamat-amatinya sosok Tun Utama, yang dinilainya sebagai
wajah terpelajar yang tak pantas berada di situ. Dia pun bertanya darimana dan
hendak kemana rupanya Tun Utama. Tun Utama pun mengutarakan keinginannya untuk
berlayar ke negeri seberang. Berlayarlah Tun Utama dengan kapal Terus Mata.
Pelayaran
pun singgah di satu pelabuhan yang jauh. Negeri Pasir. Pelabuhan itu kering dan
sepi. Tak banyak kapal yang singgah. Tun Utama mencoba peruntungan terakhirnya dengan
melompat turun dari kapal.
Dari
pelabuhan, Tun Utama berjalan kaki memasuki pedalaman. Seharian berjalan,
berkelok-kelok, dia pun berpapasan dengan seorang petani menjelang hari senja.
Petani
ini menawarkan rumahnya untuk tempat Tun Utama singgah.Tun Utama pun menyambut
baik tawaran Si Petani untuk menginap di rumah beliau. Perjalanan ke rumah
petani menjelang senja itu menghadirkan keheranan lain pada Si Petani.
Pada
malam hari selepas maghrib, seperti biasa Tun Utama pun menyodorkan “beras
rusak” yang dibawanya itu dengan alasan nazar dalam perjalanan, kepada Si
Petani. Seperti biasa adat Melayu zaman, dimana anak gadis tak bisa menampakkan
diri pada tamu non-muhrim, maka yang ada cuma dia dan suami-istri pemilik
rumah. Istri petani dengan terheran-heran membawa beras ke dapur, dimana
seorang gadis bersiap menyajikan masakan. Sajiannya tertunda dengan “beras
rusak” yang dibawa ibunya. Dengan heran dan penasaran dia bertanya-tanya siapa
tamu yang dibawa ayahnya itu. Sebab, Si Petani rupanya bukan orang yang suka
membawa orang asing ke rumah, jika tidak berkenan di hatinya. Mendengar
gelak-tawa Tun Utama dan ayahnya dari ruang depan, kentaralah bahwa ada yang
mengena di antara mereka.
Sementara
ibunya menyuruh mengganti beras tersebut, Si Gadis menolak dan tersenyum-senyum
melihatnya. Dia pun mengambil alat-alat masak, memisahkan bumbu yang
bercampur-aduk dan mengolah kembali isi “beras rusak” tersebut agar bisa
disajikan sebagai makan malam.
Ketika
hidangan tersaji di depan Tun Utama dan Si Petani, terlihat tidak ada yang
istimewa. Si Petani yang mengira isi beras berbeda dengan yang biasa mereka
makan, menjadi heran meskipun diam saja melihat sajian “beras kaul” itu tak
berbeda dengan apa yang tersaji untuknya.
Tun
Utama sendiri, setelah suapan pertama, tercenung dengan penasaran. Masakan yang
dimakannya membawanya serasa kembali ke Negeri Parun. Tak jauh beda dengan
masakan ibunya. Kentara bahwa “beras rusak” tersebut sudah dimasak dengan
semestinya.
Dengan
gaya biasa, seakan sepintas lalu, Tun Utama pun memuji masakan istri Si Petani.
Namun Si Petani dan istrinya menjawab bahwa masakan itu adalah masakan anak
gadis mereka yang di dapur. Tun Utama kini menjadi penasaran.
Ketika
pagi berlalu, selepas shalat subuh, Tun Utama memutar pikiran mencari alasan
agar bisa tinggal sedikit lama di rumah tersebut, untuk menuntaskan rasa
penasarannya. Saat pagi tiba, dia bermangu di pinggir sungai dan memandangi
takjub kincir air yang belum pernah dijumpainya dalam perjalanannya. Penasaran
hendak melintas air sungai, dilompatinya bebatuan, hingga sebuah suara
terdengar mengejutkannya. Suara yang berseru, “Hati-hati, Tuan… nanti…”
Terlambat.
Tun Utama tercebur menginjak batu licin. Terkilir kakinya dan susah payah
berenang ke pinggir sungai, dan ditarik ke darat oleh pemilik suara yang
mengagetkannya itu. Seorang anak gadis rupawan yang baru pulang mencuci kain.
Si Gadis meminta maaf karena mengagetkannya, namun Tun Utama tak
mempermasalahkan soal itu. Apa yang membuat hatinya kaget adalah pengakuan
bahwa gadis itu adalah anak dari Si Petani dimana dia menumpang.Namanya, Siti
Syarifah.
Dengan
dipapah oleh Syarifah, pulanglah mereka ke rumah. Berpapasan dengan Si Petani
yang di hari itu cepat pulag dari sawahnya. Kaget Si Petani melihat anaknya
memapah pemuda asing yang menjadi tamunya, namun selepas dilihatnya kaki Tun
Utama terkilir, dimintalah maaf olehnya dengan rasa tak enak hati karena tamu
tercedera di rumahnya sendiri. Dipintanya Tun Utama bertahan sedikit lama
sampai sembuh, sebelum melanjutkan perjalanannya kembali.
Tun
Utama diam-diam girang bukan kepalang. Hari demi hari berlalu dalam masa
penyembuhan kakinya. Dia pun sesekali berkomunikasi dengan Syarifah. Terkadang
dari jendela dipandanginya anak gadis rupawan yang cerdas itu. Hingga saat
kakinya sembuh, dia pun mengutarakan keinginan untuk berangkat pada Si Petani.
Ketika
makan malam usai, Tun Utama beringsut menghadap Si Petani. Mengutarakan sekali
lagi bahwa dia akan pergi dari negeri tersebut, namun dengan membawa serta
Syarifah sebagai istri. Jika segenggam mas kawin untuk Syarifah tidak berarti
apa-apa, dia akan tetap pamit juga, dengan membawa dirinya sendiri.
Sementara
Si Gadis yang sudah jatuh cinta menangis di kamarnya, di rangkulan ibunya, mata
Si Petani berkaca-kaca. Mendapatkan menantu memang sudah lama diidamkannya,
namun anak gadisnya terlalu keras kepala. Dan kini Si Gadis sudah dipinta oleh
orang muda yang mereka suka. Tak menjadi masalah baginya, namun tentu putusan
ada pada Syarifah jua.
Ketika
Si Petani pamit untuk bertanya, istrinya mencegat di depan pintu kamar Si
Gadis. Menggeleng pertanda tak perlu bertanya apa-apa lagi. “Tunggu apa lagi?
Terima saja! Anak kita sudah setuju!”
Pernikahan
pun dilangsungkan. Sementara kerahasiaan identitas Tun Utama pun kemudian
dibuka hanya pada istri dan mertuanya saja. Ternyata curiga-mencurigai sudah
lama ada di antara mereka.
Sementara
Tun Utama mengakui bahwa jatuh ke sungai lalu terkilir adalah sakit. Tapi jatuh
hati di hari itu adalah pengobatnya. Jadi, penyesalan Syarifah di hari itu tak
jadi masalah. Karena siapa yang jatuh siapa yang menjatuhkan? Hati mereka juga
jadinya.
Setelah
beberapa lama Tun Utama memperpanjang masa tinggalnya dengan keluarga barunya,
bersiap-siaplah dia kembali ke Negeri Parun. Dengan izin dari ibu dan bapak
Siti Syarifah, keluarlah mereka sekeluarga dari negeri itu menuju pelabuhan.
Pernikahannya
dengan Siti Syarifah yang cantik rupawan, ternyata sudah mengundang dengki
seorang pemuda negeri tersebut. Anak orang kaya bangsawan yang sudah berkali
ditolak oleh Syarifah lamarannya. Si Jambat, namanya.
Dalam
perjalanan itu, makin kagumlah Nahkoda pada pilihan Tun Utama. Syarifah tak
segan bersama suaminya belajar mengemudi kapal. Perjalanan pun akhirnya tiba di
pelabuhan ujung Negeri Parun. Dari sana, Tun Utama memutuskan untuk berkuda
berdua saja dengan Siti Syarifah, karena menunggu kapal langsung ke Negeri
Parun akan memakan waktu lama. Mereka pun berpisah dengan janji akan bertemu
kembali.
Tujuan
Si Jambat pun tercapai sudah. Di satu jalan sepi pada malam esoknya, dapat juga
dikejarnya Tun Utama dan Siti Syarifah. Dengan tukang pukulnya mengeroyok Tun
Utama, dikejarnya Siti Syarifah -yang disuruh lari dengan kuda oleh Tun Utama.
Siti Syarifah tertangkap, dan dengan segera dibawanya ke satu warung di
pelabuhan ketika hari sudah beranjak larut malam.
Lalu
satu suara menggelegar bertanya,“Boleh kulihat barang barumu itu, Jambat?”.Tercekat
hati Si Jambat. Suara menggelegar itu tak lain adalah suara Nahkoda Terus Mata.
Dengan segan, Si Jambat pun mempersilakan Nahkoda Terus Mata mendekati Siti
Syarifah.
“Jadi ini urusan seronok yang kau katakan itu,
Jambat?”
Si
Jambat baru hendak menjawab, namun tinju Nahkoda Terus Mata sudah mematahkan
batang hidungnya. Dengan marah Si Jambat mencabut goloknya, diikuti oleh
teman-temannya, dan berteriak mengatakan betapa Nahkoda Terus Mata rupa-rupanya
belum kenal siapa dia.
Nahkoda
Terus Mata tertawa sinis. Dengan satu gerakan tangan memberi isyarat,
terdengarlah bunyi senjata tajam dicabut dari seisi ruangan. Jumlah pengikut
Nahkoda Terus Mata rupanya jauh lebih banyak dari gerombolan Si Jambat. Nahkoda
Terus Mata pun memberi ultimatum: Jika Si Jambat tak memberi tahu dimana Tun
Utama, isi benaknya akan dihamburkan di situ juga.
Sadar
kalah dukungan, Si Jambat pun melarikan diri. Nahkoda Terus Mata melepas
Syarifah dan bertanya kabar Tun Utama, lalu menitipkan Syarifah pada beberapa
anak buahnya dan memutuskan untuk membagi dua rombongan. Satu mencari Si Jambat
dan satunya mencari Tun Utama.
Pencarian
Tun Utama pun sukses dilakukan. Di jalan lengang menuju ke arah lokasi
penghadangan Tun Utama, bertemulah mereka. Tun Utama rupa-rupanya sudah
menewaskan para pengeroyoknya, meski badannya sendiri luka-luka, dan mengambil
kuda salah satu dari mereka untuk mengejar Si Jambat. Heran Nahkoda Terus Mata,
dengan apa Tun Utama melawan, sementara dia tak bersenjata. Ternyata payung
yang selalu dibawa Tun Utama, jika ditarik di gagangnya, akan mengeluarkan
sebilah pedang tipis yang tajam.
Setelah
Tun Utama bertemu dengan istri, Nahkoda pun memutuskan bahwa mereka mesti
segera berangkat, langsung ke Negeri Parun. Penolakan Tun Utama dengan
kekhawatiran urusan barang niaga di kapalnya akan terlantar, ditampiknya
mentah-mentah. Dia bersikeras untuk mengantar mereka sendiri sampai selamat ke
Negeri Parun.
Singkatnya, kepulangan mereka pun disambut gembira. Raja dan
Permaisuri yang sudah lama menanti, sudah gelisah karena tahun akan berganti,
berseri-seri menyambut Tun Utama dan Siti Syarifah.
Ketika
hari-hari berlalu, makin terlihat sosok Syarifah yang menarik hati. Anak-anak
suka bermain di dekatnya, mendengarnya bercerita. Rakyat pun suka dengan calon
permaisuri di masa depan yang ramah pada mereka. Istri Tun Utama menjadi buah
bibir, dari desa hingga ke istana. Semua orang jatuh cinta padanya.
Di
sinilah skandal istana bermula.Raja yang dilamun asmara, kemudian merasa
badannya tak sehat. Sudah beberapa tabib diundang untuk mengobatkan, tapi tak
juga beliau merasa badannya sehat kembali. Hingga satu hari Tuan Kadi, jabatan
salah satu punggawa yang berurusan dengan soal perkawinan, mengabarkan kepada
Raja sebuah mimpinya: Obat kesembuhan Raja adalah seekor musang berjanggut.
Namun
mimpi tersebut rupa-rupanya mendatangkan akal bagi mereka. Semua seperti
berpikiran serupa: Inilah saat memisahkan Tun Utama dan Siti Syarifah, sehingga
bisalah salah satu dari mereka merayu-cumbu Siti Syarifah barang semalam saja,
hendak pula bisa selama-lamanya. Tentu saja pikiran demikian cuma tersimpan
dalam hati masing-masing punggawa istana dan juga Raja.
Maka dipanggil lah Tun Utama menghadap. Dengan menyinggung
tekadnya yang keras karena telah berhasil membawa pulang perempuan yang
bukan betina, diharapkanlah kesediaannya untuk mencari pula musang
berjanggut, demi kesembuhan Raja. Tun Utama, meski terheran-heran, menyanggupi
perintah Raja, bahkan ketika hukuman pancung jika gagal diancamkan kepadanya.
Raja, dengan desakan dari para punggawa, menitahkan agar Tun Utama berangkat
hari itu juga.
Pulanglah Tun Utama ke rumah. Diceritakannyalah kepada Siti
Syarifah permintaan Raja itu. Siti Syarifah terheran-heran dengan obat yang
aneh itu. Dicegahnya Tun Utama berangkat, karena selain aneh, ada naluri lain
terasa olehnya. Namun Tun Utama bersikeras juga hendak melaksanakan
amanah.“Jika ada ular beranak, mana tahu ada pula musang berjanggut.”
Siti
Syarifah mengalah. Namun meminta Tun Utama menunda barang semalam, karena ada
sesuatu yang hendak ditunjukkannya jika sangkanya benar. Dimintanya agar Tun
Utama mengabarkan ke istana bahwa dia akan berangkat sore itu.
Mata-mata
istana bergerak-gerak di sekitar rumah. Begitu terlihat Tun Utama keluar
meninggalkan rumah, sampailah kabar ke istana bahwa memang sudah berangkat Tun
Utama mencari musang berjanggut akan pengobat Raja.
Tak
lama berselang, langsung tiba utusan Raja memberitahu pada Siti Syarifah, bahwa
jika tak ada halangan Raja hendak bertamu ke rumah selepas isya. Siti Syarifah
mengangguk dan berkata bahwa dia akan menunggu sekitar pukul sepuluh malam.
Selepas utusan Raja, datang pula utusan Kadi Istana, mengabarkan bahwa Kadi
hendak datang bertamu karena ada urusan penting. Siti Syarifah menyanggupi, dan
memberi waktu selepas maghrib. Lalu datang lagi utusan Datuk Tumenggung,
mengabarkan bahwa Datuk Tumenggung hendak bertamu. Siti Syarifah menyanggupi
dan memberitahu bahwa hendaklah Datuk Tumenggung datang selepas isya. Lalu
berturut-turut datang utusan Datuk Bendahara dan utusan Datuk Laksamana dengan
hajat bertamu yang sama. Siti Syarifah pun berjanji menunggu dengan waktu yang
diaturnya setengah sampai satu jam dari utusan terakhir.
Ketika
hari senja, selepas shalat maghrib, dengan mengendap-endap Tun Utama masuk dari
pintu belakang rumah mereka. Dengan jenaka Siti Syarifah menyuruhnya
bersembunyi di loteng rumah. Dengan terheran-heran Tun Utama menuruti
permintaan istrinya.
Ternyata
Tuan Kadi Istana tak sabar menanti. Belum lagi maghrib berlalu, sudah terdengar
ketukan di depan pintu. Siti Syarifah mempersilakan Tuan Kadi masuk, bahkan
menyuruhnya menyembunyikan kasut di dalam rumah. Merasa sambutan begitu ramah
dan hangat, Kadi Istana berbunga-bunga. Dengan sabar dia menanti Siti Syarifah
yang meminta izin hendak ke dapur, akan membuat sajian untuknya. Pada
kenyatannya, Siti Syarifah berpura-pura sibuk di dapur. Dipercik-perciknya air
ke minyak mendidih sehingga terdengar seperti orang sedang memasak.
Perasaan
berbunga-bunga Kadi Istana terusik dengan suara salam yang sudah dikenalnya di
pintu rumah. Datuk Tumenggung datang bertamu. Dengan panik Kadi mencoba hendak
lari bersembunyi, namun Siti Syarifah cekatan menarik tangannya dan membujuknya
untuk bersembunyi di dalam peti besar berukuran lebar, yang terletak di ruangan
itu. Tak pikir panjang, Kadi melompat masuk ke dalam peti, tanpa mengetahui
bahwa Siti Syarifah tersenyum-senyum mengunci peti tersebut dan beranjak
membuka pintu untuk Datuk Tumenggung.
Apa
yang mengherankan Tuan Kadi adalah makanan lengkap di dalam peti yang
berongga-rongga sehingga seisi ruang terlihat jelas jika diintipnya.
Sementara
itu, Datuk Tumenggung yang sudah berbirahi dielakkan Siti Syarifah dengan trik
yang sama seperti terhadap Tuan Kadi, membiarkannya berbunga-bunga menanti Siti
Syarifah menyajikan masakan untuknya. Dan selepas itu, Datuk Tumenggung pun
tersenyum mesum sendiri dengan khayalannya, sampai suara ketukan di pintu
terdengar dengan salam yang sudah dikenalnya. Datuk Laksamana!
Gusar
dan panik, Datuk Tumenggung pun berniat lari. Namun dengan sigap Siti Syarifah
yang berpura-pura heran menunjukkan lemari di ruangan itu. Tak banyak pikir,
masuklah Datuk Tumenggung ke dalamnya.
Demikianlah.
Satu persatu dikerjai oleh Siti Syarifah. Yang paling naas adalah Datuk
Laksamana. Dengan mesumnya dia bertelanjang dada selagi Syarifah di dapur. Eh,
sedang asyik dia berfilosofi, “ibarat gulai di tangan, tak akan lari kemana
jika bukan ke mulut juga” terhadap Siti Syarifah yang ranum di dapur sana,
suara Datuk Bendahara terdengar. Gemetar ketakutan dia mencari tempat
bersembunyi. Siti Syarifah, dengan menahan tawa, mengatakan tak ada tempat
bersembunyi di rumah itu. Tak ada pintu lain. Namun jika Datuk Laksamana mau,
bisa berpura-pura menjadi patung di sudut ruangan, di sebelah lemari. Cukuplah
dengan memegang setalam buah-buahan dan berdiam diri, tak akan terlihat nyata
di ruangan dengan pelita yang sudah meredup cahayanya.
Datuk
Laksamana pun bertindak sesuai anjuran. Di sudut sebelah lemari, dimana Datuk
Tumenggung bersembunyi, dia berpura-pura menjadi arca. Diam tak berkutik ketika
Datuk Bendahara masuk ke dalam rumah.
Lalu
Datuk Bendahara pun kena. Sedang mesra berkhayal, sempat terheran-heran melihat
patung mirip-mirip Datuk Laksamana di sudut dekat lemari, suara Raja terdengar
bertandang. Imajinasi mesumnya buyar seketika. Siti Syarifah pun menunjukkan
kolong meja di dekat mereka, sebuah meja bertutup kain. Sigap Datuk Bendahara
masuk ke kolong meja, mengintip Raja yang masuk dengan dituntun mesra oleh Siti
Syarifah.
Tak
seperti yang lainnya, Raja menolak disajikan makanan. Dengan duduk berdekatan,
dicobanya merayu-rayu menantunya itu perlahan-lahan. Bercerita tentang sakitnya
dan betapa dia merindu ingin bertemu Siti Syarifah.
Siti
Syarifah mendengar takzim layaknya anak menantu terhadap mertua. Namun,
rupa-rupanya Sang Raja sudah mulai nakal menyentuh-nyentuh lengannya. Siti
Syarifah tiba-tiba berdiri dan berkata bahwa dia hendak bermanja dengan Raja.
Jika sudi, Raja dimintanya menjadi kuda. Raja tertawa gembira, merasa
menantunya sedang memberi pertanda, dengan segera dia pun berlutut dan bergaya
seperti kuda. Siti Syarifah tertawa dan meminta Raja tidak berposisi kuda
seperti biasa, dengan kaki dan tangan masih di lantai, tapi hendaklah
mengangkat ujung tangan dan ujung kaki sehingga cuma tersisa lutut dan siku
saja sebagai kuda-kuda. Raja mengalah dengan perkiraan bahwa ini hanyalah trik
Siti Syarifah untuk bermanja. Meski siku tangannya dan lututnya terasa sakit,
namun ketika Syarifah sudah duduk di punggungnya, seakan-akan sedang naik kuda
dengan duduk menyamping, senanglah hati Raja.
Para
punggawa terhenyak di persembunyian masing-masing. Raja Negeri Parun yang
disegani lawan dan dihormati kawan, menjadi kuda yang dinaiki seorang
perempuan, tanpa sadar sedang ditonton oleh petinggi-petinggi istana. Oleh
Datuk Bendahara yang kepanasan di kolong meja. Oleh Datuk Laksamana yang sudah
pegal-pegal tangannya berpose sebagai sebuah arca. Oleh Datuk Tumenggung yang kelaparan
di balik lemari. Dan oleh Tuan Kadi yang merasa paling beruntung di peti dengan
makanan dan minuman tersaji.
Setelah
satu kali keliling ruangan itu, Raja menyerah. Siku-siku kaki dan tangannya
sakit semua. Baru saja mereka berhenti dan Syarifah hendak mengambilkan air,
sebuah tangan mengacaukan segalanya. Tangan itu adalah tangan Datuk Tumenggung
yang kelaparan. Dengan diam-diam Datuk Tumenggung membuka lemari. Melihat ada
buah-buahan di talam yang dipegang oleh “arca tembaga mirip-mirip Datuk Laksamana”,
tangannya pun menjulur. Bukan buah-buahan terpegang olehnya, namun batang
hidung Datuk Laksamana. Datuk Laksamana pun berteriak kaget, dicampaknya talam
buah-buahannya, terkena pelita dan padam. Datuk Tumenggung yang terkejut
terbentur pintu lemari keningnya. Sementara Datuk Bendahara, melihat peluang
melarikan diri, mencoba keluar lekas-lekas dari kolong meja, dan
terbungkuk-bungkuk punggungnya membentur sisi meja. Panik seisi ruangan,
mencoba kalang kabut melarikan diri, seketika menyadari bahwa bukan satu dari
mereka ada di sana. Dalam gelap malam berdesak dan berpencar mereka, juga Raja,
kabur dari pintu depan. Kasut tercampak berhambur dan hilang mereka dalam
kegelapan malam.
Siti Syarifah pun menyalakan kembali
pelita dan memanggil suaminya turun dari loteng. Tun Utama, dengan tawa
terpingkal-pingkal mendapat tontonan gratis, turun dan memeluk istrinya. Lalu
bersama mendekati peti dimana Tuan Kadi bersembunyi.
Berteriak-teriak
Tuan Kadi meminta Tuan Putri Syarifah membukakan peti tersebut.“Tak ada yang
perlu dikhawatirkan Tuan Kadi. Bukankah cukup makanan dan minuman di situ?”
Sadarlah
Tuan Kadi, bahwa dirinya sudah terjebak. Tadi dikiranya dia yang paling
beruntung, namun kini jelas bahwa dia yang paling sial dari antara semua.
Esoknya,
sampailah kabar di istana bahwa Tun Utama sudah kembali membawa musang
berjanggut. Seisi negeri kaget dan berbondong-bondong ke istana menanti musang
berjanggut yang sudah ditangkap oleh Tun Utama. Di balairung istana, Raja dan
segenap pembesar kerajaan -minus Tuan Kadi- sudah berkumpul. Mereka menatap tak
percaya ketika sebuah peti besar dibawa dua prajurit istana, dengan Tun Utama
datang menghadap mengabarkan bahwa sudah berhasil ditangkapnya musang
berjanggut untuk kesembuhan Raja. Dengan beringsut mundur Tun Utama
mempersilakan diperiksa isi peti tersebut, adakah benar musang berjanggut atau
bukan.
Dari
singgasananya, entah karena takut atau merasa bersalah, Raja menyuruh
punggawanya satu demi satu memeriksa isi peti, sebelum dia nanti melihatnya
sendiri.Majulah Datuk Bendahara. Ketika dibukanya peti tersebut, terkejutlah ia
melihat Tuan Kadi meringkuk di dalamnya.
“Apa
yang Tuan Kadi lakukan di dalam peti ini?”
“Melihat
Datuk Bendahara mengganggu istri orang. Bagaimana kabar punggung Datuk? Masih
sakit membentur meja?”Datuk Bendahara terdiam. Dia pun beringsut mundur,
menutup peti dan berkata kepada Raja.
“Memang
benar ini musang berjanggut, Tuanku.”Lalu maju pula Datuk Tumenggung. Reaksinya
sama kaget dengan Datuk Bendahara.
“Celakalah
kita! Kenapa bisa begini, Tuan Kadi?”Kadi Istana menjawab kecut sambil menunjuk
kening Datuk Tumenggung.“Tanyakanlah
pada kening Datuk yang bengkak itu.”Datuk Tumenggung mundur dan menunduk malu.
Lalu mengangguk kepada Raja.
“Benar
Tuanku. Ini memang musang berjanggut adanya.”
Berikutnya
majulah pula Datuk Laksamana. Tak kalah pula kagetnya Datuk Laksamana melihat
isi di dalam peti. Mendesis-desis ia berbisik,“Astaga! Malang nian nasibmu,
Tuan Kadi!”Tuan Kadi tersenyum,
“Setidaknya
lebih beruntung daripada menjadi patung tembaga, Datuk Laksamana.”
Datuk Laksamana terpukul mundur.
Ditutupnya peti dan tegak menghadap Raja.“Bagaimana, Laksamana?”
Datuk
Laksamana menjawab,“Tak diragukan lagi, Tuanku. Ini memang musang berjanggut
adanya. Jenis yang suka mengganggu ayam orang.”
Merasa
penasaran, Raja pun turun dari singgasana mendekati peti. Dibukanya peti dan
terhenyaklah ia melihat wajah Tuan Kadi menunduk malu di dalam peti. Mendesis
Raja tak percaya:
“Tak
kusangka semalang ini nasibmu, Kadi!”Kadi istana menunduk dan menjawab,
“Beruntunglah
hamba tidak dijadikan kuda tua untuk ditunggangi, Tuanku.”
Raja
terdiam lama di sisi peti tempat bersemayamnya Tuan Kadi. Sadarlah dia kini,
bahwa ini semua adalah pembalasan dari Tun Utama dan terutama Siti Syarifah
yang cerdik-jenaka. Sebuah pelajaran yang menyadarkan orang-orang tua seperti
dirinya dan para punggawa istana.Raja menutup peti tersebut, dan menepuknya
tiga kali. Lalu mengumumkan bahwa benar adanya isi peti tersebut adalah musang
berjanggut.
Di
akhir cerita, Raja dan semua punggawa mengundurkan diri, setelah meminta maaf
kepada Tun Utama dan Siti Syarifah serta berterimakasih atas cara mereka
mengajar tanpa mempermalukan orang-orang tua yang khilaf tersesat nafsu.
Nahkoda Terus Mata yang sempat dimintai bantuan mencari obat oleh Tun Utama pun
datang, dan mengabarkan nasehat dari tabib jauh bahwa obat kesembuhan Raja cuma
ada dalam dirinya sendiri.
Tun
Utama diangkat menjadi Raja bersama Siti Syarifah sebagai permaisuri istana.
Selain dari mereka, tak pernah ada yang tahu rupa musang berjanggut
sesungguhnya, bahwa musang berjanggut itu tak lain Kadi Istana yang memang
berjanggut segenggam tangan, sebagai amsal sebuah perilaku tercela dalam agama
dan adat-istiadat. Peti “musang berjanggut” itu pun dinyatakan sebagai harta
istana. Disimpan sebagai pelajaran. Menjadi hikayat makrifat turun-temurun.
*
* *
No comments:
Post a Comment