Sebenarnya ini tugas sekolahku yang harus aku kumpulkan ke Bp. Joko Haryanto S.Pd. tapi karena blogku merupakan map tuhas ku, so this is my task.... I wanna share my task.....
PARIS
oleh : Febryana Nur Safitri
Diruang tamu, Adelia sedang membaca
buku tentang Paris. Ruang tamu yang cukup sederhana itu hanya terdapat satu meja yang diatasnya terdapat vas bunga ,
kamus Bahasa Perancis yang sudah lusuh dan secangkir kopi. Didinding ruang
tamu, terdapat gambar Menara Eiffel yang sudah mulai kusam. Sesekali dia
memandangi gambar menara Eiffel tersebut.
Adelia : (MENUTUP
BUKU YANG SEDANG DIBACA)
“Mimpi. Katanya hidup berawal dari
mimpi. Macam mana aku ini, untuk bermimpi saja aku tidak berani. Hidup ini
berat kujalani. Tak sempat aku memikirkan mimpiku yang terlewat tinggi itu.
Saking tingginya aku tak berani melanjutkannya. Hahaha... macam mana pula aku
ini, anak orang miskin yang selalu berharap tentang mimpi. Mustahil!”
(BERDIRI. MAJU BEBERAPA LANGKAH)
“Huh... aku sudah bisa meraih mimpiku
untuk bersama Mas Arkha. Untuk apa aku bermimpi untuk benda mati yang selama
ini aku mimpikan siang dan malam. Hahaha. Tapi, Menara itu. Menara itu yang aku
mau.”
(IBU MEMASUKI PANGGUNG)
Ibu : (MENGGUNAKAN
JARIT DAN BAJU TRADISIONAL JAWA)
“Adelia, kamu kenapa? Sedari tadi hanya
berbicara sendiri. Apa kamu mulai gila?”
(MENGGELUS ADELIA)
Adelia : (MENDEKATI
IBU)
“Ibu ini bisa saja. Anak sendiri kok
dibilang mulai tidak waras. Apa Ibu mau, anak Ibu yang paling cantik ini jadi
tidak waras beneran?”
Ibu : (MENDORONG
PELAN ADEL)
“Hush...Kamu tuh
ngawur. Mana mau Ibu punya anak tidak waras. Kalau kamu punya masalah, jangan
cuma dipendam sendiri. Cerita to sama Ibumu ini.”
Adelia : (MENUNDUK)
“Bu, apa salah bila Adel menginginkan
Mas Arkha dan Menara Eiffel?”
Ibu : “Oalah nduk, Ibumu ini tidak tahu apa
yang kamu maksud. Yang penting apa yang kamu pilih itu baik, Ibu bakal
mendukungmu.”
Adelia : (MEMELUK IBU)
“Adelia sangat bingung, Bu. Apa yang
nantinya harus Adel katakan.”
Ibu : (MEMBAWA GELAS BERISI TEH DARI MEJA TAMU)
“Sekarang pikir dulu, kamu pilih
mana yang terbaik buat kamu. Kalaupun kamu pilih menara itu dan kamu harus
putus, itu pilihanmu. Ingat, di dunia ini, laki-laki bukan hanya Arkha. Wes,
Ibu mau ke dapur dulu.”
Adelia : “Hah... aku jadi tambah pusing.
Harus ku apakan formulir itu. Jika formulir itu aku isi lalu kukirim, pasti Mas
Arkha akan menolak keputusanku dan ia pasti akan mengakhiri hubungan ini.”
(BERJALAN MONDAR-MANDIR)
“Kenapa aku dihadapkan dengan dua
pilihan yang sama-sama aku inginkan. Disatu sisi tak mau kehilangan belahan
jiwa, disisi lain tak mau aku sia-siakan kesempatan emas itu. Mas Arkha... Mas
Arkha... Kapan aku bisa meyakinkanmu, kalau aku akan selalu setia.”
(MEMBERESI BUKU YANG BERADA DI MEJA)
“Susah. Ya sudahlah... mending aku
mandi saja.”
(KELUAR DARI PANGGUNG)
...........................................
Ibu :(MEMASUKI PANGGUNG SAMBIL MEMBAWA
SECANGKIR KOPI. DISANA BAPAK SEDANG MEMBACA KORAN)
“Ini anak kita kok, bawaannya stress
terus yo, Pak. Istilah anak mudanya apa itu pak? Aduh Ibu lupa”
(SAMBIL MEMEGANG KEPALA, MENCOBA
MENGINGAT INGAT)
Bapak : (MENGHENTIKAN MEMBACA KORAN)
“Istilah opo to, Bu?”
Ibu : “Itu loh pak, yang sering diiklan TV”
Bapak : “Oalah... galau, Bu”
(TERTAWA)
Ibu : “Nah, itu Pak. Galau. Anak kita itu
sering melamun sendiri, ngomong sendiri sambil membawa selembar kertas,Pak.
Kadang-kadang Ibu lihat dia sering banget melihat gambar menara itu tu , Pak.
Menara Apel.”
(MENUNJUK KE GAMBAR MENARA EIFFEL
DIDINDING RUANG TAMU)
Bapak : (TERTAWA)
“Menara Eiffel, Bu. Bukan menara
Apel. Hahaha.”
Ibu : “Halah, terserah apapun itu namanya.
Bapak juga, kenapa dulu sering bercerita tentang menara itu ke Adelia. Jadinya
anak kita punya mimpi yang terlalu tinggi.”
Bapak : (MAU MEMINUM KOPI,
TETAPI BELUM JADI MEMINUM)
“Loh,Loh, kok salah Bapak? Malah
bagus kalau Adel punya mimpi besar. Bapak malah bangga sama anak kita
satu-satunya itu ,Bu. Sudah cantik, pinter, baik dan punya mimpi besar.
Sampai-sampai Nak Arkha yang anak DPR itu kepincut sama anak kita.”
Ibu : (CEMBERUT)
“Sudah, Pak. Lupakan mimpimu buat
besanan sama Pak DPR. Anak kita galau yang gara-gara Nak Arkha dan Menara
impiannya itu.”
Bapak : (MENDEKATI IBU)
“Kok bisa ku? Aku tidak bermimpi
untuk besanan sama Pak DPR, tapi aku bermimpi bisa jadi mertuanya Nak Arkha.
Nak Arkha itu sudah ganteng, baik, dan tidak pernah memandang orang dari
kekayaan, Bu.”
Ibu : “Iya... Ibu tahu, Pak. Ya sudahlah, Bapak
minum dulu kopinya. Keburu dingin.”
Bapak : (MENGAMBIL SECANGKIR KOPI DI ATAS
MEJA DAN MEMINUMNYA)
“Wah, iya Bu. Sampai lupa kopi
buatan Ibu yang palaing enak sekampung kita ini. Hehehe”
Ibu : (MALU-MALU)
“Bapak ini, sudah tua kok masih
kayak anak muda. Sudah ibu mau menyiapkan makan siang dulu.”
(KELUAR PANGGUNG)
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang
diketok. Bapak segera membuka pintu, dan mempersilakan tamunya untuk duduk.
Bapak : (BERSALAMAN
DENGAN TAMU (ARKHA))
“ Ech, Nak Arkha to. Saya kira siapa.
Ayo mari-mari duduk. Lama saya tak berjumpa
sama Nak Arkha. Sudah sekira berapa bulannya? Tiga bulan mungkin. Hahaha.
Bagaimana kabarmu ,Nak?”
Arkha : (MENYERAHKAN SEKOTAK MARTABAK TELUR)
“Iya ,Pak.
Alhamdulillah, saya baik-baik saja. Bapak sendiri bagaimana? Sehat kan?”
Bapak : (TERSENYUM)
“Wo... ya jelas sehat ,Nak. Bapak kan
selalu olahraga. Hahaha. Beberapa bulan ini, kamu kemana? Tak pernah Bapak
melihat batang hidungmu.”
Arkha : “
Maaf, Pak. Saya baru ada urusan di luar kota. Ada proyek di Bandung.”
Bapak : “Alhamdulillah.
Bapak doakan proyekmu lancar. Sebentar, Nak Arkha mau mencari Adelia? Oh iya...
Bapak sampai lupa.”
(BERTERIAK)
“Bu... buatkan kopi satu, ada Nak
Arkha ini.”
Arkha : “ Sudah, Pak. Tidak usah repot-repot.”
Bapak : “Ah, repot darimana. Hanya secangkir
kopi itu tidak ada repot sama sekali. Ya sudah, Bapak panggilkan Adelia dulu.”
(KELUAR PANGGUNG)
(BEBERAPA MENIT KEMUDIAN ADELIA
MEMASUKI PANGGUNG)
Adelia : “ Mas Arkha? Mas Arkha sudah pulang
dari Bandung? Lama nian, Mas Arkha tak menemui Adel.”
Arkha : “ Maafkan Mas, Adel. Selama dua bulan Mas
harus ke Bandung, mengurus proyek Papa yang disana. Mas sebenarnya juga ingin
cepat-cepat ketemu dengan mu. Tapi apa daya.”
Adelia : “Mas, kapan sampai di Solo?”
Arkha : “Kemarin sore. Dijemput Mang Ujang di
Bandara. Kamu baik-baik saja, kan? Tak ada luka sedikitpun yang kau derita
kan?”
(TERTAWA MENGGODA)
Adelia : “Mas ini bisa aja. Selalu saja
begitu.”
(ADEL DAN ARKHA TERTAWA)
Arkha : “Hmmm... bagaimana dengan rencanamu untuk
melamar beasiswa? Kamu akan tetap melamar beasiswa itu meski aku melarang, atau
kamu tidak jadi melamar beasiswa itu?”
(suasana menjadi tegang)
Adelia : “Sudah Mas. Jangan bahas itu lagi. Aku belum
sepenuhnya memutuskan”
(MENUNDUK)
(BERDIRI, SESEKALI BERJALAN)
“Paris. Kota yang aku dambakan,
Mas. Kota yang menyimpan segala macam keindahan. Dulu, Bapak pernah menyuruhku
untuk menjejakan kaki di kota cantik itu. Sekarang kesempatan itu datang.
Tapi...”
(TERDIAM)
Arkha : “Aku bukannya menghalangimu untuk pergi kesana.
Tapi aku tak mau kau pergi lama.”
Adelia : “Hanya 3
tahun. Waktu itu singkat jika kamu mau menungguku. Aku ingin menggapai mimpiku
untuk menjejakkan kaki di Paris. Aku ingin melihat kota Paris dari atas Menara
Eiffel yang cantik itu. Aku ingin menuntut ilmu di Paris. Aku ingin semua
tentang Paris.
Arkha : (BERDIRI MENDEKATI ADELIA)
“Bagimu, mungkin terpisah denganku
selama 3 tahun itu cepat. Bagiku, waktu itu bisa menghentikan denyut nadiku,
Adel. Aku hanya ingin kamu disini, mendampingiku. Hanya itu, tak usah kau jauh
ke negeri orang.”
Adelia : “Sudah Mas. Aku tak ingin kita
berdebat lagi mengenai Paris.”
Arkha : “Baik. Aku kesini untuk hubungan kita. Ku
mohon, kamu dengar permintaanku ini.”
(ADEL MENANGIS)
“Aku hendak pamit pulang sekarang.
Salam untuk Ibu dan Bapak. Assalamualaikum”
(KELUAR PANGGUNG)
Adelia :
“Waalaikumsalam”
(DUDUK DIKURSI DAN MASING MENGUSAP
AIR MATANYA.)
Ibu : (MEMASUKI PANGGUNG DENGAN MEMBAWA
NAMPANG YANG BERISI KOPI DAN BISKUIT)
“Loh...kok tamunya sudah pulang.
Adel, Nak Arkha mana?”
Adelia : “Sudah pulang, Bu. Mas Arkha titip
salam untuk Bapak dan Ibu.”
(MASING TERISAK-ISAK)
Ibu : (DUDUK DISAMPING ADELIA)
“Kamu ini kenapa to nduk? Setiap
hari kok cuma sedih terus. Apa kamu nggak merasa stress? Ayo cerita sama Ibu.”
Adelia : (TERSENYUM)
“Tidak , Bu. Sungguh, tak ada
sedikit hal yang mengganggu Adel. Bu, Adel hendak kekamar sebentar. Adel mau
mengisi formulir beasiswa itu.”
Ibu : “Kamu sudah mantap nduk? Apa kamu sudah
siap untuk ke negeri orang? Ibu jadi khawatir.”
Adelia : “Bu, tekad Adel sudah bulat. Adel
akan pergi ke Paris. Biarpun Mas Arkha melarang saya, menghalangi saya dan
menangis didepan saya. Saya akan bersikukuh untuk menapakkan kaki saya di
Paris, Bu. Ibu tahu kan, seberapa aku mencintai Paris, sejak kecil.”
Ibu : “Iya... Ibu paham betul masalah itu.
Tapi.... “
Bapak : (BAPAK MEMASUKI PANGGUNG)
“Bu, biarkan saja Adel memilih
masa depannya. Adel sudah dewasa, Bu. Dia berhak memilih mana yang akan menjadi
pilihannya. Ibu tidak usah khawatir begitu. Adel lekaslah kau isi formulir itu.
Dan segera kau kirim ke pihak yang bersangkutan.”
Adelia : (BERDIRI. KELUAR PANGGUNG)
“Baik, Pak. Adel permisi dulu.
Adel hendak mengisi formulir. Pak, Bu... Maafkan Adel yang egois ini. Adel
tahu, Bapak dan Ibu sangat menginginkan Adel bersama Mas Arkha tapi Adel tak
bisa, Pak, Bu.”
Bapak : “Sudah sana. Kalau jodoh tak akan
kemana.”
(ADEL KELUAR DARI PANGGUNG)
“Bu, janganlah kau berdiam durja
begitu. Cantik kau hilang.”
Ibu : “Bapak ini, selalu saja mengizinkan
anak untuk bersekolah jauh. Dulu Bapak izinkan Adel untuk menuntut ilmu di
Jakarta, sekarang malah lebih jauh. Ingat pak, anak kita cuma satu.”
Bapak :“ Bu... jangan begitu, biarkan anakmu
itu belajar negeri orang, disana dia akan bertambah ilmunya. Sudah, Bapak sudah
lapar. Ayo kita makan siang, Bu.”
(MENGAJAK IBU MAKAN SIANG. KELUAR
PANGGUNG)
............................................
Adelia : (MEMASUKI PANGGUNG. IA DUDUK DIKURSI
SAMBIL MEMBACA BUKU DAN BELAJAR BAHASA PERANCIS.)
“Formulir beasiswa sudah aku
kirim, tapi sampai sekarang belum ada pemberitahuan. Mas Arkha pun sekarang tak
ada kabar.”
(MEMBOLAK-BALIK BUKU)
“Sudah terima sajalah, nasibku
yang tak sukses di asmara. Jangan-jangan benar ramalan Mang Ujang sewaktu awal
tahun kemarin. Hehehe”
Arkha : (MEMASUKI PANGGUNG)
“Assalamualaikum”
Adelia : “Waalaikumsalam. Mas Arkha?”
Arkha : “Del, Mas kesini mau meminta doa. Aku hendak
dikirim ke Amerika Serikat selama 3 tahun untuk mengurus proyek kerjasama
Indonesia-Amerika di sana. Dan... Aku ingin meminta maaf atas keegoisanku yang
memintamu untuk tetep disini. Padahal aku juga yang salah, malahan aku yang
hendak meninggalkanmu disini.”
(SEDIH)
Adelia : “Kapan Mas akan berangkat ke
Amerika?Bukan minggu ini,kan?”
Arkha : (TERTUNDUK)
“Besok Adel”
Adelia : “Besok? Terlalu cepat.”
(DIAM)
(IBU DAN BAPAK MEMASUKI PANGGUNG)
Ibu : (MEMBAWA AMPLOP SURAT BERWARNA COKLAT)
“Adel, ini ada surat dari pihak
beasiswa. Ech, Nak Arkha, maaf Ibu tak tahu kalau Nak Arkha kesini.”
(DUDUK)
(ARKHA BERSALAMAN)
Bapak : “Ayo, Adel cepat kau buka surat itu.
Kita tak sabar menunggu kelolosanmu.”
(ADEL MEMBUKA SURAT DAN MEMBACA
SURAT TERSEBUT)
Adel : (SETENGAH BERTERIAK)
“Bapak, Ibu, Mas Arkha,... Adel
Lolos. Adel bakal ke Paris.”
(ADEL DAN IBU PERPELUKAN)
“Alhamdulillah, Tuhan terima kasih
kau telah mengizinkanku untuk menapakan kaki di Kota Indah itu.”
Arkha : “Alhamdulillah, Aku turut bahagia. Aku janji,
akan kembali untukmu. Walau tiga tahun menurutku sangat membunuh jika tak
bersamamu, tapi aku akan coba menjalaninya.”
Bapak : “Tetaplah bermimpi Adel dan terus
kejarlah mimpimu sampai kau lemah tapi kau dapatkan mimpimu itu.”
Ibu : “Bagaimana kalau kita mengadakan makan
malam bersama untuk kelolosan Adel dan kesuksesan proyek Nak Arkha. Undang juga
Bapak dan Ibu Nak Arkha.”
Arkha : “Wah, saya setuju sekali, Bu.”
(SEMUA KELUAR PANGGUNG. ARKHA DAN ADEL
SALING BERPANDANGAN DAN MEREKA SALING MELEMPAR SENYUM)
-THE END-
No comments:
Post a Comment