Sunday, April 21, 2013

Naskah Drama "PARIS"


Sebenarnya ini tugas sekolahku yang harus aku kumpulkan ke Bp. Joko Haryanto S.Pd. tapi karena blogku merupakan map tuhas ku, so this is my task.... I wanna share my task..... 

PARIS
oleh : Febryana Nur Safitri

Diruang tamu, Adelia sedang membaca buku tentang Paris. Ruang tamu yang cukup sederhana itu hanya terdapat  satu meja yang diatasnya terdapat vas bunga , kamus Bahasa Perancis yang sudah lusuh dan secangkir kopi. Didinding ruang tamu, terdapat gambar Menara Eiffel yang sudah mulai kusam. Sesekali dia memandangi gambar menara Eiffel tersebut.
Adelia           : (MENUTUP BUKU YANG SEDANG DIBACA)
“Mimpi. Katanya hidup berawal dari mimpi. Macam mana aku ini, untuk bermimpi saja aku tidak berani. Hidup ini berat kujalani. Tak sempat aku memikirkan mimpiku yang terlewat tinggi itu. Saking tingginya aku tak berani melanjutkannya. Hahaha... macam mana pula aku ini, anak orang miskin yang selalu berharap tentang mimpi. Mustahil!”
(BERDIRI. MAJU BEBERAPA LANGKAH)
“Huh... aku sudah bisa meraih mimpiku untuk bersama Mas Arkha. Untuk apa aku bermimpi untuk benda mati yang selama ini aku mimpikan siang dan malam. Hahaha. Tapi, Menara itu. Menara itu yang aku mau.”
(IBU MEMASUKI PANGGUNG)
Ibu      : (MENGGUNAKAN JARIT DAN BAJU TRADISIONAL JAWA)
“Adelia, kamu kenapa? Sedari tadi hanya berbicara sendiri. Apa kamu mulai gila?”
(MENGGELUS ADELIA)
Adelia           : (MENDEKATI IBU)
“Ibu ini bisa saja. Anak sendiri kok dibilang mulai tidak waras. Apa Ibu mau, anak Ibu yang paling cantik ini jadi tidak waras beneran?”
Ibu      : (MENDORONG PELAN ADEL)
“Hush...Kamu tuh ngawur. Mana mau Ibu punya anak tidak waras. Kalau kamu punya masalah, jangan cuma dipendam sendiri. Cerita to sama Ibumu ini.”
Adelia           : (MENUNDUK)
“Bu, apa salah bila Adel menginginkan Mas Arkha dan Menara Eiffel?”
Ibu        : “Oalah nduk, Ibumu ini tidak tahu apa yang kamu maksud. Yang penting apa yang kamu pilih itu baik, Ibu bakal mendukungmu.”
Adelia                       : (MEMELUK IBU)
“Adelia sangat bingung, Bu. Apa yang nantinya harus Adel katakan.”
Ibu      : (MEMBAWA GELAS BERISI TEH DARI MEJA TAMU)
              “Sekarang pikir dulu, kamu pilih mana yang terbaik buat kamu. Kalaupun kamu pilih menara itu dan kamu harus putus, itu pilihanmu. Ingat, di dunia ini, laki-laki bukan hanya Arkha. Wes, Ibu mau ke dapur dulu.”
Adelia           : “Hah... aku jadi tambah pusing. Harus ku apakan formulir itu. Jika formulir itu aku isi lalu kukirim, pasti Mas Arkha akan menolak keputusanku dan ia pasti akan mengakhiri hubungan ini.”
(BERJALAN MONDAR-MANDIR)
            “Kenapa aku dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama aku inginkan. Disatu sisi tak mau kehilangan belahan jiwa, disisi lain tak mau aku sia-siakan kesempatan emas itu. Mas Arkha... Mas Arkha... Kapan aku bisa meyakinkanmu, kalau aku akan selalu setia.”
            (MEMBERESI BUKU YANG BERADA DI MEJA)
            “Susah. Ya sudahlah... mending aku mandi saja.”
            (KELUAR DARI PANGGUNG)
...........................................
Ibu      :(MEMASUKI PANGGUNG SAMBIL MEMBAWA SECANGKIR KOPI. DISANA BAPAK SEDANG MEMBACA KORAN)
            “Ini anak kita kok, bawaannya stress terus yo, Pak. Istilah anak mudanya apa itu pak? Aduh Ibu lupa”
            (SAMBIL MEMEGANG KEPALA, MENCOBA MENGINGAT INGAT)
Bapak           : (MENGHENTIKAN MEMBACA KORAN)
            “Istilah opo to, Bu?”
Ibu      : “Itu loh pak, yang sering diiklan TV”
Bapak           : “Oalah... galau, Bu”
            (TERTAWA)
Ibu      : “Nah, itu Pak. Galau. Anak kita itu sering melamun sendiri, ngomong sendiri sambil membawa selembar kertas,Pak. Kadang-kadang Ibu lihat dia sering banget melihat gambar menara itu tu , Pak. Menara Apel.”
            (MENUNJUK KE GAMBAR MENARA EIFFEL DIDINDING RUANG TAMU)
Bapak           : (TERTAWA)
            “Menara Eiffel, Bu. Bukan menara Apel. Hahaha.”
Ibu        : “Halah, terserah apapun itu namanya. Bapak juga, kenapa dulu sering bercerita tentang menara itu ke Adelia. Jadinya anak kita punya mimpi yang terlalu tinggi.”
Bapak                       : (MAU MEMINUM KOPI, TETAPI BELUM JADI MEMINUM)
            “Loh,Loh, kok salah Bapak? Malah bagus kalau Adel punya mimpi besar. Bapak malah bangga sama anak kita satu-satunya itu ,Bu. Sudah cantik, pinter, baik dan punya mimpi besar. Sampai-sampai Nak Arkha yang anak DPR itu kepincut sama anak kita.”
Ibu      : (CEMBERUT)
            “Sudah, Pak. Lupakan mimpimu buat besanan sama Pak DPR. Anak kita galau yang gara-gara Nak Arkha dan Menara impiannya itu.”
Bapak           : (MENDEKATI IBU)
            “Kok bisa ku? Aku tidak bermimpi untuk besanan sama Pak DPR, tapi aku bermimpi bisa jadi mertuanya Nak Arkha. Nak Arkha itu sudah ganteng, baik, dan tidak pernah memandang orang dari kekayaan, Bu.”
Ibu      : “Iya... Ibu tahu, Pak. Ya sudahlah, Bapak minum dulu kopinya. Keburu dingin.”
Bapak           : (MENGAMBIL SECANGKIR KOPI DI ATAS MEJA DAN MEMINUMNYA)
            “Wah, iya Bu. Sampai lupa kopi buatan Ibu yang palaing enak sekampung kita ini. Hehehe”
Ibu      : (MALU-MALU)
            “Bapak ini, sudah tua kok masih kayak anak muda. Sudah ibu mau menyiapkan makan siang dulu.”
            (KELUAR PANGGUNG)
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketok. Bapak segera membuka pintu, dan mempersilakan tamunya untuk duduk.
Bapak           : (BERSALAMAN DENGAN TAMU (ARKHA))
“ Ech, Nak Arkha to. Saya kira siapa. Ayo mari-mari duduk. Lama saya tak berjumpa  sama Nak Arkha. Sudah sekira berapa bulannya? Tiga bulan mungkin. Hahaha. Bagaimana kabarmu ,Nak?” 
Arkha : (MENYERAHKAN SEKOTAK MARTABAK TELUR)
            “Iya ,Pak. Alhamdulillah, saya baik-baik saja. Bapak sendiri bagaimana? Sehat kan?”
Bapak : (TERSENYUM)
“Wo... ya jelas sehat ,Nak. Bapak kan selalu olahraga. Hahaha. Beberapa bulan ini, kamu kemana? Tak pernah Bapak melihat batang hidungmu.”
Arkha            : “ Maaf, Pak. Saya baru ada urusan di luar kota. Ada proyek di Bandung.”
Bapak : “Alhamdulillah. Bapak doakan proyekmu lancar. Sebentar, Nak Arkha mau mencari Adelia? Oh iya... Bapak sampai lupa.”
              (BERTERIAK)
              “Bu... buatkan kopi satu, ada Nak Arkha ini.”
Arkha : “ Sudah, Pak. Tidak usah repot-repot.”
Bapak           : “Ah, repot darimana. Hanya secangkir kopi itu tidak ada repot sama sekali. Ya sudah, Bapak panggilkan Adelia dulu.”
              (KELUAR PANGGUNG)
              (BEBERAPA MENIT KEMUDIAN ADELIA MEMASUKI PANGGUNG)
Adelia           : “ Mas Arkha? Mas Arkha sudah pulang dari Bandung? Lama nian, Mas Arkha tak menemui Adel.”
Arkha : “ Maafkan Mas, Adel. Selama dua bulan Mas harus ke Bandung, mengurus proyek Papa yang disana. Mas sebenarnya juga ingin cepat-cepat ketemu dengan mu. Tapi apa daya.”
Adelia           : “Mas, kapan sampai di Solo?”
Arkha : “Kemarin sore. Dijemput Mang Ujang di Bandara. Kamu baik-baik saja, kan? Tak ada luka sedikitpun yang kau derita kan?”
              (TERTAWA MENGGODA)
Adelia           : “Mas ini bisa aja. Selalu saja begitu.”
              (ADEL DAN ARKHA TERTAWA)
Arkha : “Hmmm... bagaimana dengan rencanamu untuk melamar beasiswa? Kamu akan tetap melamar beasiswa itu meski aku melarang, atau kamu tidak jadi melamar beasiswa itu?”
              (suasana menjadi tegang)
Adelia : “Sudah Mas. Jangan bahas itu lagi. Aku belum sepenuhnya memutuskan”
              (MENUNDUK)
(BERDIRI, SESEKALI BERJALAN)
              “Paris. Kota yang aku dambakan, Mas. Kota yang menyimpan segala macam keindahan. Dulu, Bapak pernah menyuruhku untuk menjejakan kaki di kota cantik itu. Sekarang kesempatan itu datang. Tapi...”
              (TERDIAM)
Arkha : “Aku bukannya menghalangimu untuk pergi kesana. Tapi aku tak mau kau pergi lama.”
Adelia : “Hanya 3 tahun. Waktu itu singkat jika kamu mau menungguku. Aku ingin menggapai mimpiku untuk menjejakkan kaki di Paris. Aku ingin melihat kota Paris dari atas Menara Eiffel yang cantik itu. Aku ingin menuntut ilmu di Paris. Aku ingin semua tentang Paris.
Arkha : (BERDIRI MENDEKATI ADELIA)
              “Bagimu, mungkin terpisah denganku selama 3 tahun itu cepat. Bagiku, waktu itu bisa menghentikan denyut nadiku, Adel. Aku hanya ingin kamu disini, mendampingiku. Hanya itu, tak usah kau jauh ke negeri orang.”
Adelia           : “Sudah Mas. Aku tak ingin kita berdebat lagi mengenai Paris.”
Arkha : “Baik. Aku kesini untuk hubungan kita. Ku mohon, kamu dengar permintaanku ini.”
              (ADEL MENANGIS)
              “Aku hendak pamit pulang sekarang. Salam untuk Ibu dan Bapak. Assalamualaikum”
              (KELUAR PANGGUNG)
Adelia : “Waalaikumsalam”
              (DUDUK DIKURSI DAN MASING MENGUSAP AIR MATANYA.)
Ibu        : (MEMASUKI PANGGUNG DENGAN MEMBAWA NAMPANG YANG BERISI KOPI DAN BISKUIT)
              “Loh...kok tamunya sudah pulang. Adel, Nak Arkha mana?”
Adelia           : “Sudah pulang, Bu. Mas Arkha titip salam untuk Bapak dan Ibu.”
              (MASING TERISAK-ISAK)
Ibu        : (DUDUK DISAMPING ADELIA)
              “Kamu ini kenapa to nduk? Setiap hari kok cuma sedih terus. Apa kamu nggak merasa stress? Ayo cerita sama Ibu.”
Adelia           : (TERSENYUM)
              “Tidak , Bu. Sungguh, tak ada sedikit hal yang mengganggu Adel. Bu, Adel hendak kekamar sebentar. Adel mau mengisi formulir beasiswa itu.”
Ibu        : “Kamu sudah mantap nduk? Apa kamu sudah siap untuk ke negeri orang? Ibu jadi khawatir.”
Adelia           : “Bu, tekad Adel sudah bulat. Adel akan pergi ke Paris. Biarpun Mas Arkha melarang saya, menghalangi saya dan menangis didepan saya. Saya akan bersikukuh untuk menapakkan kaki saya di Paris, Bu. Ibu tahu kan, seberapa aku mencintai Paris, sejak kecil.”
Ibu        : “Iya... Ibu paham betul masalah itu. Tapi.... “
Bapak           : (BAPAK MEMASUKI PANGGUNG)
              “Bu, biarkan saja Adel memilih masa depannya. Adel sudah dewasa, Bu. Dia berhak memilih mana yang akan menjadi pilihannya. Ibu tidak usah khawatir begitu. Adel lekaslah kau isi formulir itu. Dan segera kau kirim ke pihak yang bersangkutan.”
Adelia           : (BERDIRI. KELUAR PANGGUNG)
              “Baik, Pak. Adel permisi dulu. Adel hendak mengisi formulir. Pak, Bu... Maafkan Adel yang egois ini. Adel tahu, Bapak dan Ibu sangat menginginkan Adel bersama Mas Arkha tapi Adel tak bisa, Pak, Bu.”
Bapak           : “Sudah sana. Kalau jodoh tak akan kemana.”
              (ADEL KELUAR DARI PANGGUNG)
              “Bu, janganlah kau berdiam durja begitu. Cantik kau hilang.”
Ibu        : “Bapak ini, selalu saja mengizinkan anak untuk bersekolah jauh. Dulu Bapak izinkan Adel untuk menuntut ilmu di Jakarta, sekarang malah lebih jauh. Ingat pak, anak kita cuma satu.”
Bapak           :“ Bu... jangan begitu, biarkan anakmu itu belajar negeri orang, disana dia akan bertambah ilmunya. Sudah, Bapak sudah lapar. Ayo kita makan siang, Bu.”
              (MENGAJAK IBU MAKAN SIANG. KELUAR PANGGUNG)
............................................
Adelia           : (MEMASUKI PANGGUNG. IA DUDUK DIKURSI SAMBIL MEMBACA BUKU DAN BELAJAR BAHASA PERANCIS.)
              “Formulir beasiswa sudah aku kirim, tapi sampai sekarang belum ada pemberitahuan. Mas Arkha pun sekarang tak ada kabar.”
              (MEMBOLAK-BALIK BUKU)
              “Sudah terima sajalah, nasibku yang tak sukses di asmara. Jangan-jangan benar ramalan Mang Ujang sewaktu awal tahun kemarin. Hehehe”
Arkha : (MEMASUKI PANGGUNG)
              “Assalamualaikum”
Adelia           : “Waalaikumsalam. Mas Arkha?”
Arkha : “Del, Mas kesini mau meminta doa. Aku hendak dikirim ke Amerika Serikat selama 3 tahun untuk mengurus proyek kerjasama Indonesia-Amerika di sana. Dan... Aku ingin meminta maaf atas keegoisanku yang memintamu untuk tetep disini. Padahal aku juga yang salah, malahan aku yang hendak meninggalkanmu disini.”
              (SEDIH)
Adelia           : “Kapan Mas akan berangkat ke Amerika?Bukan minggu ini,kan?”
Arkha : (TERTUNDUK)
              “Besok Adel”
Adelia           : “Besok? Terlalu cepat.”
              (DIAM)
(IBU DAN BAPAK MEMASUKI PANGGUNG)
Ibu        : (MEMBAWA AMPLOP SURAT BERWARNA COKLAT)
              “Adel, ini ada surat dari pihak beasiswa. Ech, Nak Arkha, maaf Ibu tak tahu kalau Nak Arkha kesini.”
              (DUDUK)
              (ARKHA BERSALAMAN)
Bapak           : “Ayo, Adel cepat kau buka surat itu. Kita tak sabar menunggu kelolosanmu.”
              (ADEL MEMBUKA SURAT DAN MEMBACA SURAT TERSEBUT)
Adel     : (SETENGAH BERTERIAK)
              “Bapak, Ibu, Mas Arkha,... Adel Lolos. Adel bakal ke Paris.”
              (ADEL DAN IBU PERPELUKAN)
              “Alhamdulillah, Tuhan terima kasih kau telah mengizinkanku untuk menapakan kaki di Kota Indah itu.”
Arkha : “Alhamdulillah, Aku turut bahagia. Aku janji, akan kembali untukmu. Walau tiga tahun menurutku sangat membunuh jika tak bersamamu, tapi aku akan coba menjalaninya.”
Bapak   : “Tetaplah bermimpi Adel dan terus kejarlah mimpimu sampai kau lemah tapi kau dapatkan mimpimu itu.”
Ibu        : “Bagaimana kalau kita mengadakan makan malam bersama untuk kelolosan Adel dan kesuksesan proyek Nak Arkha. Undang juga Bapak dan Ibu Nak Arkha.”
Arkha : “Wah, saya setuju sekali, Bu.”
(SEMUA KELUAR PANGGUNG. ARKHA DAN ADEL SALING BERPANDANGAN DAN MEREKA SALING MELEMPAR SENYUM)

-THE END-

No comments:

Post a Comment